Kabar Irwan
Kesejahteraan perangkat desa sebenarnya sudah jelas dalam Undang-Undang Desa dan PP Nomor 11 Tahun 2019:.
mereka berhak menerima penghasilan tetap minimal setara 70% gaji pokok PNS Golongan II/a.
Namun kenyataan di banyak daerah justru jauh berbeda. Masih banyak perangkat desa yang menerima gaji di bawah standar, bahkan di bawah UMP.
Ketimpangan ini bukan sekadar masalah teknis anggaran, tetapi cermin ketidakadilan struktural dalam desentralisasi fiskal.
Desa diberi kewajiban besar, tetapi tidak selalu diberi kemampuan yang sepadan untuk memenuhinya.
Sementara itu, tugas perangkat desa terus meningkat: mengelola administrasi, mengurus bantuan sosial, menjadi penghubung warga dengan pemerintah, sekaligus menjaga stabilitas sosial.
Namun status sosial mereka kerap hanya formalitas. Tekanan psikologis tinggi tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima.
Mereka bekerja penuh waktu, tetapi banyak yang hidup dalam “kemiskinan fungsional”—bekerja tetapi tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Jika kondisi ini dibiarkan, dampaknya tak main-main: menurunnya kualitas pelayanan publik, melemahnya integritas aparatur, hingga potensi penyimpangan anggaran.
Perangkat desa bukan mesin; mereka butuh kepastian hidup.
Karena itu, ada tiga langkah mendesak yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah daerah harus tegas memenuhi standar penghasilan perangkat desa. Kedua, alokasi Dana Desa perlu diarahkan secara proporsional untuk mendukung kesejahteraan aparatur, bukan sekadar proyek fisik. Ketiga, diperlukan sistem evaluasi kinerja yang memberi insentif bagi desa yang mampu mengelola anggaran dengan baik.
Perangkat desa adalah fondasi pemerintahan. Jika negara ingin benar-benar hadir sampai ke level paling bawah, maka keadilan harus dimulai dari desa—dari kesejahteraan orang-orang yang menjaga pemerintahan di tingkat paling dekat dengan rakyat. (***)

Posting Komentar
0Komentar